Made in Indonesia

Senin, 22 November 2010

Konflik Sampit dan Tarakan dalam kacamata Doktor Ilmu Komunikasi

VIVAnews - Ketika konflik komunal di Tarakan, Kalimantan Timur terjadi, ingatan kolektif kita langsung merujuk pada kekerasan antar kelompok di Kalimantan Tengah, yang terjadi di Sampit hampir sepuluh tahun lalu. Mengingat potensi bahayanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun buru-buru mengingatkan ”para petugas keamanan untuk tidak menyikapi konflik di Tarakan sebagai kasus biasa” (VIVAnews, 29 September 2010).

Belajar dari pengalaman di Kalimantan Tengah, Pemerintah memang harus bertindak tegas, dan cepat agar kekerasan antar kelompok ini tak menyebar ke daerah lain.  Salah satu hal yang mungkin menjadi perhatian pemerintah adalah besarnya dana yang dikeluarkan mengirim para petugas keamanan di daerah konflik tersebut.

Namun demikian besarnya dana itu akan menjadi tak signifikan dibandingkan jika konflik itu meluas.
  Dalam riset soal Sampit yang pernah saya lakukan beberapa waktu lalu, salah seorang Bupati di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah mengatakan dia tidak peduli dana yang harus dikeluarkannya sepanjang konflik tidak meluas .

Dia juga mengatakan kerusakan besar-besaran di kota Sampit akibat konflik membuat dana yang dia keluarkan menjadi tak berarti. Langkah sang Bupati itu membuahkan hasil dengan dapat dihentikannya kekerasan di daerahnya.
Meski begitu, pendekatan keamanan saja tak cukup menjembatani jurang yang tercipta akibat kekerasan terbuka ini. Situasi tanpa kekerasan ini dapat dijadikan langkah awal untuk proses rekonstruksi komunikasi pasca konflik karena ada pekerjaan besar menunggu, yaitu membangun kembali trust di antara kelompok yang bertikai.
Dalam hal ini, seluruh pihak terkait harus duduk bersama, dan mendiskusikan masalah-masalah esensial yang menjadi akar permasalahan bentrokan. Harus diakui akar konflik komunal biasanya tidak kasat mata, dan lebih dari hanya sekadar konflik antar etnis.
Ketidakpuasan warga asli yang telah berurat berakar akibat ketimpangan ekonomi, politik, dan keadilan yang mereka rasakan berujung pada meletusnya bentrokan hanya karena insiden kriminal kecil.
Kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah dianggap mendasari munculnya fenomena kekerasan komunal ini. Kebijakan tersebut cenderung meminggirkan masyarakat asli, dan akhirnya menjadi penonton atas ”pembangunan” di daerah mereka. Hal ini diperparah dengan maraknya perusahaan-perusahaan besar yang berbondong-bondong datang mengeruk sumber daya alam, yang dengan susah payah dijaga oleh masyarakat asli sesuai nilai kultural mereka.
Saat para warga asli daerah secara sistematis dimarginalkan, pada saat bersamaan mereka mengalami represi saat berusaha menyuarakan keprihatinan mereka kepada pihak penguasa, baik nasional maupun lokal. Akibatnya, warga pendatang yang dianggap turut serta menikmati hasil eksploitasi sumber daya itu akhirnya dianggap musuh yang jelas terlihat.

Dapat ditebak, akhirnya ketidakpuasan itu meledak menjadi sebuah kekerasan yang ditujukan kepada warga pendatang.  Hal ini juga didorong faktor lain, yaitu adanya anggapan masyarakat pendatang sering tidak menghormati nilai-nilai budaya lokal, dan terlalu menjunjung ekslusivisme kesukuan yang sempit.
Disamping perbaikan hak-hak ekonomi, politik, dan keadilan warga asli,  rekonstruksi komunikasi pasca konflik juga harus dilakukan dengan memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk belajar menerima perbedaan.

Dalam hal ini peran pemerintah sebagai fasilitator menjadi sangat strategis dengan melakukan langkah-langkah preventif terhadap kemungkinan meledaknya konflik serupa di masa depan dan memberikan jaminan keamanan dan kepastian hukum kepada para warga dari kedua belah pihak. Tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum mutlak dilakukan agar kondisi yang kondusif bisa terus dijaga.
Dalam memfasilitasi upaya rekonstruksi komunikasi pasca konflik, pihak pemerintah sebaiknya melibatkan para pemimpin informal. Hal ini mutlak dilakukan karena para pemimpin informal dari masing-masing pihak biasanya lebih dipercaya karena dianggap memiliki legitimasi kultural untuk mewakili kepentingan dari masing-masing kelompok.
Selain itu, kemampuan berbahasa daerah merupakan salah satu nilai tambah para pemimpin informal ini dalam berkomunikasi dengan para anggota kelompok mereka.  Dengan cara ini diharapkan pesan-pesan upaya persuasi perdamaian dapat secara efektif dikomunikasikan kepada para anggota masing-masing kelompok etnis.
Terakhir, kaum perempuan juga seyogyanya dilibatkan dalam upaya membangun komunikasi pasca konflik ini. Bercermin dari proses rekonstruksi pasca konflik di Kalimantan Tengah, kaum perempuan pendatang memainkan peran penting sebagai ”duta perdamaian” (Ambassador of Peace) yang melakukan negosiasi dengan para pemimpin informal warga asli, sehingga pengembalian pengungsi dapat berjalan.

Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya wadah bagi kaum perempuan dari pihak-pihak yang bertikai. Wadah itu dibutuhkan untuk berdiskusi, dan bersama-sama memikirkan langkah strategis yang dapat menyumbang terciptanya perdamaian. Tentu saja,  dia bermanfaat membangun kembali kepercayaan, dan keharmonisan di antara dua kelompok yang pernah bertikai.
Rudi Sukandar adalah doktor ilmu komunikasi dan Associate Researcher di Maarif Institute Jakarta.
• VIVAnews

Tidak ada komentar: