VIVAnews - Ketika konflik komunal di Tarakan,
Kalimantan Timur terjadi, ingatan kolektif kita langsung merujuk pada
kekerasan antar kelompok di Kalimantan Tengah, yang terjadi di Sampit
hampir sepuluh tahun lalu. Mengingat potensi bahayanya, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pun buru-buru mengingatkan ”para petugas keamanan
untuk tidak menyikapi konflik di Tarakan sebagai kasus biasa” (VIVAnews, 29 September 2010).
Belajar
dari pengalaman di Kalimantan Tengah, Pemerintah memang harus bertindak
tegas, dan cepat agar kekerasan antar kelompok ini tak menyebar ke
daerah lain. Salah satu hal yang mungkin menjadi perhatian pemerintah
adalah besarnya dana yang dikeluarkan mengirim para petugas keamanan di
daerah konflik tersebut.
Namun demikian besarnya dana itu akan
menjadi tak signifikan dibandingkan jika konflik itu meluas.
Dalam
riset soal Sampit yang pernah saya lakukan beberapa waktu lalu, salah
seorang Bupati di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah mengatakan
dia tidak peduli dana yang harus dikeluarkannya sepanjang konflik tidak
meluas .
Dia juga mengatakan kerusakan besar-besaran di kota
Sampit akibat konflik membuat dana yang dia keluarkan menjadi tak
berarti. Langkah sang Bupati itu membuahkan hasil dengan dapat
dihentikannya kekerasan di daerahnya.
Meski begitu, pendekatan keamanan saja tak cukup menjembatani jurang
yang tercipta akibat kekerasan terbuka ini. Situasi tanpa kekerasan ini
dapat dijadikan langkah awal untuk proses rekonstruksi komunikasi pasca
konflik karena ada pekerjaan besar menunggu, yaitu membangun kembali
trust di antara kelompok yang bertikai.
Dalam hal ini, seluruh pihak terkait harus duduk bersama, dan
mendiskusikan masalah-masalah esensial yang menjadi akar permasalahan
bentrokan. Harus diakui akar konflik komunal biasanya tidak kasat mata,
dan lebih dari hanya sekadar konflik antar etnis.
Ketidakpuasan warga asli yang telah berurat berakar akibat
ketimpangan ekonomi, politik, dan keadilan yang mereka rasakan berujung
pada meletusnya bentrokan hanya karena insiden kriminal kecil.
Kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah dianggap mendasari
munculnya fenomena kekerasan komunal ini. Kebijakan tersebut cenderung
meminggirkan masyarakat asli, dan akhirnya menjadi penonton atas
”pembangunan” di daerah mereka. Hal ini diperparah dengan maraknya
perusahaan-perusahaan besar yang berbondong-bondong datang mengeruk
sumber daya alam, yang dengan susah payah dijaga oleh masyarakat asli
sesuai nilai kultural mereka.
Saat para warga asli daerah secara sistematis dimarginalkan, pada
saat bersamaan mereka mengalami represi saat berusaha menyuarakan
keprihatinan mereka kepada pihak penguasa, baik nasional maupun lokal.
Akibatnya, warga pendatang yang dianggap turut serta menikmati hasil
eksploitasi sumber daya itu akhirnya dianggap musuh yang jelas terlihat.
Dapat ditebak, akhirnya ketidakpuasan itu meledak menjadi
sebuah kekerasan yang ditujukan kepada warga pendatang. Hal ini juga
didorong faktor lain, yaitu adanya anggapan masyarakat pendatang sering
tidak menghormati nilai-nilai budaya lokal, dan terlalu menjunjung
ekslusivisme kesukuan yang sempit.
Disamping perbaikan hak-hak ekonomi, politik, dan keadilan warga
asli, rekonstruksi komunikasi pasca konflik juga harus dilakukan dengan
memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk belajar menerima
perbedaan.
Dalam hal ini peran pemerintah sebagai fasilitator
menjadi sangat strategis dengan melakukan langkah-langkah preventif
terhadap kemungkinan meledaknya konflik serupa di masa depan dan
memberikan jaminan keamanan dan kepastian hukum kepada para warga dari
kedua belah pihak. Tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum mutlak
dilakukan agar kondisi yang kondusif bisa terus dijaga.
Dalam memfasilitasi upaya rekonstruksi komunikasi pasca konflik,
pihak pemerintah sebaiknya melibatkan para pemimpin informal. Hal ini
mutlak dilakukan karena para pemimpin informal dari masing-masing pihak
biasanya lebih dipercaya karena dianggap memiliki legitimasi kultural
untuk mewakili kepentingan dari masing-masing kelompok.
Selain itu, kemampuan berbahasa daerah merupakan salah satu nilai
tambah para pemimpin informal ini dalam berkomunikasi dengan para
anggota kelompok mereka. Dengan cara ini diharapkan pesan-pesan upaya
persuasi perdamaian dapat secara efektif dikomunikasikan kepada para
anggota masing-masing kelompok etnis.
Terakhir, kaum perempuan juga seyogyanya dilibatkan dalam upaya
membangun komunikasi pasca konflik ini. Bercermin dari proses
rekonstruksi pasca konflik di Kalimantan Tengah, kaum perempuan
pendatang memainkan peran penting sebagai ”duta perdamaian” (Ambassador of Peace) yang melakukan negosiasi dengan para pemimpin informal warga asli, sehingga pengembalian pengungsi dapat berjalan.
Oleh
karena itu perlu dipikirkan adanya wadah bagi kaum perempuan dari
pihak-pihak yang bertikai. Wadah itu dibutuhkan untuk berdiskusi, dan
bersama-sama memikirkan langkah strategis yang dapat menyumbang
terciptanya perdamaian. Tentu saja, dia bermanfaat membangun kembali
kepercayaan, dan keharmonisan di antara dua kelompok yang pernah
bertikai.
Rudi Sukandar adalah doktor ilmu komunikasi dan Associate Researcher di Maarif Institute Jakarta.
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar